Kontroversi Eksekusi Mati Serge Atlaoui: Mengapa Hanya Dia yang Jadi Prioritas?

NASIONAL26 Dilihat

Jakpost.id, Jakarta, Desember 2024 – Nama Serge Areski Atlaoui, seorang warga negara Prancis, mencuat ke publik internasional sebagai salah satu terpidana mati yang masuk dalam daftar eksekusi pada April 2015. Serge, bersama delapan orang lainnya, terlibat dalam kasus pabrik narkoba besar-besaran di Tangerang yang digerebek pada 2005. Namun, eksekusi Serge ditunda karena upaya hukum yang diajukannya ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Hal ini memicu tanda tanya besar: mengapa Serge menjadi prioritas dalam eksekusi mati?

Pabrik Narkoba dengan Omzet Fantastis

Kasus ini bermula pada 11 November 2005, saat Polri menggerebek sebuah pabrik narkoba di atas lahan 4.000 meter persegi di Tangerang. Dalam penggerebekan tersebut, polisi menyita bahan baku ekstasi berton-ton, 148 kilogram sabu, dan mesin pembuat ekstasi. Pabrik ini memiliki kapasitas produksi luar biasa, yakni hingga 100 kilogram ekstasi per minggu. Dengan harga Rp100 ribu per butir dan 10 ribu butir dalam satu kilogram, pabrik ini mencetak omzet mencapai Rp100 miliar setiap minggunya.

Sebanyak 21 orang ditangkap dalam penggerebekan tersebut, dengan sembilan orang dijatuhi hukuman mati. Mereka adalah:

  1. Benny Sudrajat alias Tandi Winardi
  2. Iming Santoso alias Budhi Cipto
  3. Zhang Manquan
  4. Chen Hongxin
  5. Jian Yuxin
  6. Gan Chunyi
  7. Zhu Xuxiong
  8. Nicolaas Garnick Josephus Gerardus alias Dick
  9. Serge Areski Atlaoui

Namun, dari sembilan terpidana mati, hanya Serge yang masuk dalam daftar eksekusi tahap pertama. Keputusan ini menimbulkan pertanyaan besar, terutama mengingat catatan kriminal beberapa pelaku lainnya, seperti Benny Sudrajat, yang justru dinilai lebih berat.

Kasus Benny Sudrajat: Kejahatan Berlanjut dari Balik Penjara

Benny Sudrajat, salah satu otak di balik pabrik narkoba Tangerang, memiliki rekam jejak kriminal yang sangat hitam. Meski telah dijatuhi hukuman mati, Benny diduga masih menjalankan bisnis narkoba dari balik jeruji besi di LP Pasir Putih, Nusakambangan. Lewat jaringan kaki tangannya, ia berhasil mendirikan kembali pabrik narkoba di Pamulang, Tangerang. Setelah pabrik tersebut mengalami kebakaran, Benny memindahkannya ke Palasari, Cipanas, Cianjur, pada 2009.

Tidak berhenti di situ, anak buah Benny bahkan membangun pabrik narkoba lain di Tamansari, Jakarta Barat. Aksi ini akhirnya terungkap oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), yang menyelidiki keterlibatan Benny dari dalam penjara. Kasus ini membawa Benny kembali ke meja hijau, dan ia sekali lagi dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Agung (MA). Fakta bahwa Benny tetap dapat menjalankan bisnis narkoba meski berada di penjara menimbulkan kritik tajam terhadap sistem penegakan hukum.

Ketidakadilan dalam Eksekusi Mati

Keputusan untuk mengeksekusi Serge lebih dulu dibandingkan terpidana lainnya memicu perdebatan. Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyoroti pentingnya konsistensi dalam eksekusi hukuman mati. “Menurut saya, ada benarnya bahwa eksekusi harus dilakukan bersamaan. Undang-Undang juga mengatakan demikian, dan Kejaksaan Agung telah menyampaikan bahwa seharusnya mereka dieksekusi secara serentak, tidak bisa sendiri-sendiri,” ujar Fadli Zon dalam sebuah pernyataan.

Perbedaan perlakuan terhadap Serge dibandingkan dengan terpidana lainnya, terutama Benny, menjadi pertanyaan besar. Mengapa Serge diprioritaskan, sementara Benny, dengan kejahatan yang lebih berat, tidak dieksekusi pada saat yang sama? Jaksa Agung Prasetyo disebut-sebut bersikeras pada eksekusi Serge, namun alasannya masih belum jelas.

Reaksi Internasional dan Tekanan Diplomatik

Kasus Serge Atlaoui juga menarik perhatian internasional, khususnya pemerintah Prancis. Sebagai warga negara Prancis, Serge mendapat dukungan diplomatik dari negaranya, yang menentang hukuman mati. Penundaan eksekusi Serge pada 2015 juga terjadi setelah upaya hukum dan tekanan diplomatik dari pemerintah Prancis. Hal ini menimbulkan spekulasi bahwa keputusan untuk mengeksekusi Serge lebih dahulu mungkin berkaitan dengan upaya menunjukkan ketegasan pemerintah Indonesia di tengah tekanan internasional.

Namun, pendekatan ini menuai kritik dari banyak pihak. Mereka berpendapat bahwa eksekusi hukuman mati seharusnya tidak didasarkan pada pertimbangan politik atau diplomatik, melainkan pada prinsip keadilan yang setara.

Kritik terhadap Sistem Penegakan Hukum

Kasus ini juga menyoroti kelemahan dalam sistem penegakan hukum Indonesia, khususnya dalam menangani narapidana narkoba. Fakta bahwa Benny dapat melanjutkan bisnis narkoba dari penjara menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan dan pengelolaan lembaga pemasyarakatan. Hal ini menimbulkan keraguan terhadap efektivitas hukuman mati sebagai langkah pencegahan terhadap kejahatan narkoba.

Kesimpulan

Kontroversi di balik eksekusi Serge Atlaoui mencerminkan tantangan besar dalam penegakan hukum dan konsistensi kebijakan hukuman mati di Indonesia. Keputusan untuk memprioritaskan eksekusi Serge, sementara terpidana lain dengan kejahatan yang lebih berat masih menunggu giliran, menimbulkan tanda tanya besar tentang keadilan sistem hukum.

Apakah keputusan ini murni berdasarkan hukum, atau ada pertimbangan lain yang memengaruhinya? Yang jelas, kasus ini tidak hanya menjadi perdebatan di tingkat nasional, tetapi juga mencuri perhatian internasional, sekaligus menuntut refleksi mendalam terhadap kebijakan