Jakpost.id, Jakarta – Mulai 1 Januari 2025, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) resmi naik menjadi 12%. Kenaikan ini berlaku untuk semua jenis transaksi, baik yang dilakukan secara tunai maupun non-tunai. Namun, pemerintah memastikan bahwa konsumen hanya akan dikenakan PPN pada barang atau jasa yang dibeli, tanpa tambahan pajak pada transaksi menggunakan metode pembayaran seperti QRIS dan non-tunai lainnya.
PPN Hanya Berlaku untuk Biaya Layanan Merchant
Bank Indonesia (BI) menjelaskan bahwa PPN yang dihitung hanya mencakup biaya layanan (service fee) yang dikenakan oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) kepada merchant, termasuk Merchant Discount Rate (MDR).
“PPN tidak dikenakan kepada konsumen, sebagaimana yang sudah berlaku selama ini,” tulis BI melalui akun Instagram resminya, @bank_indonesia, pada Sabtu (28/12/2024).
BI menambahkan, sejak 1 Desember 2024, MDR QRIS untuk transaksi hingga Rp500.000 di merchant Usaha Mikro (UMI) ditetapkan sebesar 0%. Dengan kebijakan tersebut, PPN atas MDR transaksi tersebut menjadi Rp0.
“Kebijakan ini memastikan pelaku usaha mikro tidak terbebani tambahan biaya, sehingga masyarakat tetap dapat menggunakan QRIS dengan nyaman,” ujar BI.
Dampak Inflasi Rendah dan Optimisme Pemerintah
Meski tarif PPN meningkat, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menegaskan bahwa dampaknya terhadap inflasi dan daya beli masyarakat akan minimal.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Dwi Astuti, mengungkapkan bahwa dampak inflasi akibat kenaikan ini hanya sebesar 0,2%, dengan inflasi nasional yang masih terkendali di angka 1,6%.
“Dengan target inflasi APBN 2025 berada di kisaran 1,5%-3,5%, kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% tidak akan memengaruhi daya beli masyarakat secara signifikan,” tegas Dwi.
Ia juga menyoroti pengalaman sebelumnya pada April 2022, saat PPN naik dari 10% menjadi 11%, yang tidak memicu lonjakan harga barang/jasa maupun pelemahan daya beli masyarakat secara besar-besaran.
Kekhawatiran dari Pengusaha dan Sektor Keuangan
Meski pemerintah optimis, sejumlah pengusaha dan perbankan menilai kenaikan PPN 12% akan berdampak pada daya beli masyarakat.
Direktur Kepatuhan PT Bank Oke Indonesia Tbk., Efdinal Alamsyah, memperingatkan bahwa kenaikan ini dapat meningkatkan harga barang dan jasa, yang berpotensi menekan konsumsi masyarakat.
“Hal ini berpotensi mengurangi permintaan kredit konsumer, seperti KPR, KKB, atau pinjaman lainnya,” ujar Efdinal kepada CNBC Indonesia.
Sementara itu, Welly Yandoko, Executive Vice President Consumer Loan PT Bank Central Asia Tbk. (BCA), menilai kenaikan PPN akan menjadi tantangan bagi sektor properti, terutama untuk penjualan properti primer pada 2025.
“Kenaikan harga bahan bangunan dan ketidakpastian ekonomi dapat berdampak pada daya beli masyarakat, sehingga memengaruhi penjualan properti,” jelas Welly.
Kesimpulan
Dengan kenaikan tarif PPN menjadi 12%, pemerintah berupaya menjaga stabilitas ekonomi dan inflasi. Namun, tantangan tetap ada, terutama bagi pelaku usaha dan sektor keuangan yang harus beradaptasi dengan perubahan ini. Di sisi lain, transparansi dan komunikasi yang baik dari pemerintah akan menjadi kunci dalam memastikan kebijakan ini tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan bagi masyarakat.